Monolith vs Microservices: Panduan Memilih Arsitektur Aplikasi untuk Bisnis

By Feradhita NKD
Monolith vs Microservices: Panduan Memilih Arsitektur Aplikasi untuk Bisnis

Dua arsitektur yang sering dibandingkan dalam pengembangan sistem digital adalah Monolith vs Microservices. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, tergantung pada kebutuhan, skala, dan strategi bisnis Anda.

Artikel ini akan membahas secara mendalam perbedaan Monolith vs Microservices, kelebihan dan kekurangan masing-masing, hingga kapan waktu yang tepat untuk memilih salah satunya, termasuk risiko migrasi dari Monolith ke Microservices, dan aspek skalabilitas yang sering menjadi pertimbangan utama dalam dunia pengembangan software modern.

Perbedaan Monolith vs Microservices

Secara konsep, arsitektur monolith adalah struktur aplikasi yang dibangun secara utuh dalam satu basis kode tunggal. Semua komponen seperti frontend, backend, dan database terintegrasi dalam satu sistem.

Sementara itu, arsitektur microservices memecah aplikasi menjadi layanan-layanan kecil (services) yang berjalan secara independen dan saling terhubung melalui API. Setiap microservice menangani satu fungsi bisnis tertentu, dan dapat dikembangkan serta di-deploy secara terpisah.

AspekMonolithMicroservices
StrukturTerpusat & tunggalTerdistribusi & modular
DeploymentSekali deploy untuk semuaBisa deploy per layanan
SkalabilitasKurang fleksibelSangat fleksibel
MaintenanceKompleks jika besarLebih mudah untuk tim kecil per service
Kebutuhan DevOpsRendahTinggi

Baca Juga: Cara Buat Aplikasi Android – Step by Step, Panduan Proyek Digital Anda

Kelebihan dan Kekurangan Monolith vs Microservices

Kelebihan Monolith

  • Sederhana untuk memulai: Cocok untuk MVP (Minimum Viable Product) atau startup yang ingin cepat meluncurkan produk.
  • Mudah untuk dikelola di awal karena satu sumber kode.
  • Tidak membutuhkan sistem orkestrasi yang kompleks.

Kekurangan Monolith

  • Skalabilitas terbatas: Sulit menskalakan bagian tertentu saja dari sistem.
  • Sulit untuk tim besar: Konflik dalam pengembangan karena kode terpusat.
  • Tingkat kerentanan tinggi: Satu bug bisa memengaruhi seluruh sistem.

Kelebihan Microservices

  • Skalabilitas tinggi: Layanan dapat dikembangkan dan ditingkatkan secara independen.
  • Fleksibilitas teknologi: Tim dapat menggunakan bahasa atau tools yang berbeda untuk setiap service.
  • Stabilitas sistem: Jika satu layanan gagal, tidak serta-merta menjatuhkan keseluruhan sistem.

Kekurangan Microservices:

  • Kompleksitas tinggi: Membutuhkan orkestrasi antar layanan, monitoring, dan pipeline CI/CD.
  • Biaya operasional lebih besar karena banyaknya instance layanan yang berjalan.
  • Pengelolaan data lebih menantang, terutama dalam menjaga konsistensi antar service.

Kapan Sebaiknya Menggunakan Monolith atau Microservices?

Pemilihan antara Monolith vs Microservices sangat bergantung pada tahapan bisnis dan kompleksitas sistem yang dikembangkan:

Gunakan Monolith jika:

  • Anda membangun aplikasi baru atau MVP.
  • Tim pengembang masih kecil dan Anda ingin mempercepat time-to-market.
  • Proyek memiliki kompleksitas rendah hingga sedang.

Gunakan Microservices jika:

  • Proyek Anda berskala besar atau bersifat enterprise.
  • Anda membutuhkan skalabilitas tinggi dan pengembangan paralel.
  • Tim pengembang terbagi dalam divisi-divisi fungsional khusus.

Baca Juga: Clean Code Adalah: Memahami Pengertian dan Manfaatnya bagi Developer

Microservices vs Monolith: Mana yang Lebih Scalable?

Jika berbicara soal skalabilitas, microservices jelas unggul. Anda bisa menskalakan hanya layanan yang memerlukan sumber daya lebih besar, tanpa harus menyentuh layanan lain. Hal ini membuat penggunaan resource lebih efisien dan biaya infrastruktur lebih terkontrol dalam jangka panjang.

Namun, monolith juga dapat diskalakan secara horizontal, meski dengan keterbatasan. Untuk aplikasi kecil hingga menengah, monolith yang dioptimasi dengan baik tetap bisa memberikan performa yang cukup memadai.

Dapatkan Tenaga IT Outsourcing Anda Segera!

Solusi hemat biaya untuk menemukan spesialis IT dalam waktu singkat.

Percayakan penyediaan tenaga IT Outsourcing Java Developer, .NET Developer, ReactJS Developer, VueJS Developer, Project Manager, dll kepada KAZOKKU agar Anda dapat fokus pada peningkatan daya saing bisnis.

Konsultasikan kebutuhan tenaga IT Outsourcing Anda secara GRATIS di sini!

Apa Risiko Migrasi dari Monolith ke Microservices?

Banyak perusahaan memulai dengan arsitektur monolith karena lebih sederhana dan cepat dikembangkan. Namun, seiring pertumbuhan dan kompleksitas aplikasi, kebutuhan untuk beralih ke arsitektur microservices menjadi semakin mendesak. Meski menjanjikan fleksibilitas dan skalabilitas yang lebih baik, migrasi ini bukan tanpa risiko.

Risiko yang Umum Terjadi:

  • Downtime Sistem
    Jika migrasi dilakukan secara langsung tanpa perencanaan bertahap, sistem bisa mengalami downtime yang mengganggu operasional bisnis.
  • Kebutuhan SDM Berpengalaman
    Perlu tim dengan keahlian khusus dalam DevOps, Docker, Kubernetes, hingga monitoring & observability tools untuk menangani kompleksitas sistem yang baru.
  • Manajemen Dependensi yang Lebih Rumit
    Antar-microservice perlu komunikasi yang stabil dan efisien. Tanpa desain yang matang, Anda akan menghadapi kendala seperti bottleneck API, latency tinggi, atau error cascading.
  • Refactoring Code secara Besar-Besaran
    Migrasi biasanya membutuhkan pembongkaran kode lama agar sesuai dengan prinsip modularitas. Ini bisa mengganggu stabilitas jika tidak diikuti dengan pengujian yang menyeluruh.

Strategi Migrasi yang Disarankan

Agar proses migrasi berjalan mulus, berikut strategi yang bisa diterapkan:

1. Lakukan Migrasi Secara Bertahap

Alih-alih mengubah seluruh sistem sekaligus, mulailah dengan memecah satu fitur atau modul dari monolith menjadi service independen. Fokuslah pada fitur dengan dependensi rendah dan dampak tinggi seperti sistem login atau notifikasi.

2. Gunakan Pendekatan Strangler Pattern

Model ini memungkinkan sistem baru (microservice) dibangun di sekitar sistem lama secara paralel. Bagian demi bagian digantikan hingga akhirnya keseluruhan monolith “dicekik” dan digantikan sepenuhnya oleh microservices.

3. Bangun API Gateway dan Service Mesh

Gunakan API gateway untuk mengelola rute komunikasi antar layanan. Service mesh seperti Istio juga membantu mengontrol traffic, keamanan, dan observability antar microservice.

4. Siapkan Infrastruktur DevOps dan CI/CD

Automasi adalah kunci keberhasilan migrasi. Bangun pipeline CI/CD, monitoring log, serta sistem deployment terisolasi untuk masing-masing service agar proses pengembangan dan peluncuran berjalan efisien.

5. Perkuat Dokumentasi & Komunikasi Tim

Migrasi sukses membutuhkan kolaborasi antar tim. Pastikan semua langkah terdokumentasi dengan baik, serta ada komunikasi rutin antar developer, QA, DevOps, dan stakeholder.

6. Siapkan Testing Framework yang Solid

Gunakan testing unit, integration, dan end-to-end secara menyeluruh. Setiap layanan harus diuji secara independen dan dalam konteks integrasi ke seluruh sistem.

Dengan mengikuti strategi migrasi ini, perusahaan dapat mengurangi risiko, menjaga kontinuitas layanan, dan meningkatkan skalabilitas sistem secara signifikan. Jika dilakukan dengan benar, transformasi ini akan menjadi fondasi kuat untuk inovasi dan pertumbuhan digital di masa depan.

Kesimpulan

Monolith vs Microservices bukanlah pilihan benar atau salah, tapi tentang kesesuaian dengan kebutuhan proyek dan kemampuan tim Anda. Monolith cocok untuk memulai dengan cepat, sedangkan microservices tepat untuk skala besar dan kebutuhan fleksibilitas tinggi.

Jika bisnis Anda tengah merencanakan transformasi digital atau pengembangan aplikasi berskala besar, penting untuk memilih arsitektur yang tepat sejak awal — dan yang tak kalah penting, memiliki tim IT yang kompeten untuk mengeksekusinya.

Butuh Tim IT Profesional untuk Proyek Aplikasi Anda?

KAZOKKU siap membantu Anda menyediakan tenaga IT outsourcing yang berpengalaman — baik untuk pengembangan aplikasi berbasis Monolith maupun Microservices. Dengan dukungan model kerja fleksibel (onsite, remote, atau hybrid), KAZOKKU mempermudah Anda mendapatkan programmer, software engineer, hingga DevOps yang sesuai dengan kebutuhan proyek dan struktur organisasi Anda.

Hubungi KAZOKKU sekarang! Konsultasi dan temukan solusi staffing IT terbaik untuk memastikan keberhasilan transformasi digital bisnis Anda!

Feradhita NKD

Hai, saya adalah content writer yang memiliki minat di bidang IT, manajemen SDM, dan staffing. Dengan latar pendidikan komunikasi, saya menyajikan informasi yang mudah dipahami seputar staffing talenta IT dan solusi outsourcing tenaga kerja IT.

Artikel Terkait

Contact Us